Bahan bakar konvensional (bahan bakar fosil) ternyata telah menjadi sumber utama emisi gas karbon dioksida sejak awal revolusi industri di pertengahan abad ke 18. Pemanasan global, atau global warming, yang kita alami saat ini, terjadi karena emisi gas tersebut bersama gas-gas rumah kaca lainnya. Pemanasan global ternyata juga mempunyai dampak berupa perubahan iklim dan turunan-turunannya. Usaha untuk mengembalikan suhu bumi ke keadaan semula hanya dapat kita lakukan dengan mengurangi konsentrasi gas karbon dioksida di atmosfir melalui penggunaan sumber-sumber energi alternatif yang terbarukan untuk mengganti fosil. Oleh sebab itulah maka materi ini juga menyinggung masalah terganggunya keseimbangan energi bumi sebagai akibat tergantungnya pantulan energi matahari oleh permukaan bumi akibatnya adanya lapisan gas rumah kaca.
Saat ini tidak ada satupun bangsa yang mampu mengelak dari bencana alam yang diakibatkan oleh pemanasan global. Namun untuk dapat mengatasinya secara strategis ternyata sangat bergantung kepada kearifan lokal setempat serta cara dan tingkat berpikir bangsa itu sendiri. (Atmonobudi S.)
Keseimbangan Energi Bumi
Proses fundamental yang menentukan suhu bumi adalah keseimbangan antara radiasi energi termis dari matahari ke bumi dan energi termis yang dipantulkan kembali oleh permukaan bumi ke angkasa. Dengan demikian kenaikan suhu permukaan bumi, atau dikenal dengan pemanasan global, adalah bagian dari proses perubahan/pergeseran keseimbangan energi bumi ke dalam posisi equilibriumnya yang baru. Energi yang diradiasikan oleh matahari terdiri dari 7% sinar ultra-violet, 47% sinar yang memberikan efek pencahayaan, dan 46% sinar infra-merah. Kandungan energi matahari yang tertangkap di bumi berkisar 1,4 kW/m². Setiap tahunnya sekitar 1500 juta TerraWatthours (TWh) energi matahari yang terpancar ke permukaan bumi. Satu TerraWatthours sama dengan 1000 juta KiloWatthours (KWh).Ternyata tidak seluruh energi matahari mencapai permukaan bumi. Kebanyakan radiasi ultraviolet dengan panjang gelombong (𝜆, lambda) yang lebih pendek terserap di atmosfir. Uap air dan gas CO₂ menyerap energi yang 𝜆 - nya lebih besar. Awan-awan juga memantulkan cahaya matahari kembali ke ruang angkasa. Jika semua faktor ini diperhitungkan, maka hanya 47% energi, atau 700 juta TWh, yang sesungguhnya sampai di permukaan bumi. Meskipun demikian, ini berarti 14.000 kali lebih besar dari energi yang dibutuhkan umat manusia se dunia yang hanya sebesar 50.000 TWh. Proses radiasi matahari tersebut sudah berlangsung terbentuknya bumi, namun melonjak secara signifikan ketika manusia mulai menggunakan batubara dan minyak bumi secara besar-besaran untuk menggerakan mesin-mesin industri dan alat-alat transportasi darat dan laut, yang kemudian dikenal dengan sebutan "revolusi industri". Sejak itu konsentrasi gas karbondioksida di angkasa semakin pekat dan bersama gas-gas rumah kaca lainnya membuat lapisan gas rumah kaca di lapisan strofosphere semakin tebal. Yang tergolong gas-gas rumah kaca adalah: (1) Carbon dioxide (CO₂), (2) Methane (CH₄), (3) Nitrous oxide (N₂O), (4) Hydrofluorocarbons (HFCs), (5) Perfluorocarbons (PFCs), (6) Sulphurhexafluoride (SF₆). Efek rumah kaca yang ditimbulkan oleh gas-gas itulah yang telah menghalangi pantulan radiasi energi termis matahari sehingga sebagian darinya terpantul kembali ke bumi. Semakin tebal dan pekat gas-gas rumah kaca, semakin sulit energi termis yang dipantulkan permukaan bumi dapat kembali ke angkasa.
Sumber penyebab emisi gas karbon dioksida sedunia adalah sebagai berikut:
- 36% sektor industri energi listrik (pembangkit listrik/kilang minyak dll)
- 27% sektor transportasi
- 21% sektor industri
- 15% sektor rumah tangga dan jasa
- 1% sektor lainnya.
Resiko terburuk dari perubahan iklim dapat dikurangi secara substansial apabila konsentrasi gas-gas rumah kaca dapat distabilkan pada level disekitar 450 parts per million (ppm) dan 550 ppm ekivalen CO₂(CO₂e). Level saat ini berada di sekitar 530 ppm CO₂e dan akan meningkat sekitar 2 ppm setiap tahunnya. Upaya stabilisasi pada level ini adalah dengan mengurangi emisi gas-gas tersebut sebesar 25% dari emisi saat ini (bahkan sebaliknya lebih) dan tercapai sebelum tahun 2050.
Proses dekarbonisasi di sektor pembangkit listrik di seluruh dunia harus dilakukan untuk menghambat emisi gas-gas rumah kaca di atmosfir pada level 550 ppm. Namun, jika kita hendak menurunkannya hingga ke level yang lebih rendah lagi, emisi gas-gas rumah kaca harus dipangkas lebih intensif lagi di sektor transportasi, industri, dan pertanian. Pemangkasan emisi tersebut harus dilakukan secara serempak oleh seluruh penduduk bumi, termasuk indonesia. Pertanyaannya, apakah kita bertekad akan melakukan langkah-langkah adaptasi dan mitigasi terhadap dampak pemanasan global atau lebih memilih pasrah terhadap semua kondisi alam yang menimpa kita? Kebijakan Energi Nasional Tahun 2003-2025, sebagaimana tertuang dalam Perpres No.5 Tahun 2006, tampaknya belum memasukkan kebijakan dekarbonisasi di sektor pembangkit energi listrik. Pemerintah, melalui kebijakan tersebut, masih memproyeksikan kebutuhan energi nasional pada energi fossil (minyak bumi, batubara, dan gas alam) sebesar 85% di tahun 2025; sebaliknya, kurang serius untuk segera beralih ke pemanfaatan energi terbarukan. Hal tersebut tampak dari Proyek Percepatan Kelistrikan Tahap Satu, yang dibangun oleh BUMN, masih berfokus pada bahan bakar fossil. Pemanfaatan energi terbarukan pada pembangkit listrik ternyata diletakkan pada Proyek Percepatan Kelistrikan Tahap Kedua. Itupun bukan diserahkan kepada BUMN melainkan ke pihak swasta.
Dampak Perubahan Iklim terhadap Indonesia
Dampak perubahan iklim yang terjadi secara global ternyata juga telah menimpa wilayah negara kita, baik yang berupa kerugian fisik maupun ekonomi. Hal itu dibuktikan dengan semakin seringnya cuaca ekstrim, badai tropis, dan pergeseran musim yang merupakan fenomena perubahan iklim. Bencana alam yang cukup sering dialami menjadi semakin parah ketika penyusunan berbagai kebijaksanaan dalam pembangunan maupun regulasi yang ada telah mengabaikan elemen-elemen perubahan iklim.
Elemen-elemen atau parameter dari perubahan iklim yang merupakan produk dari pemanasan global antara lain adalah suhu permukaan tanah rata-rata global, permukaan laut rata-rata global, frekuensi, intensitas, dan lokasi dari kejadian ekstrim, lama perubahan musim, kelembaban tanah, biomassa di bawah dan di atas tanah, hujan lokal, dsb.
Bencana banjir, sebagai dampak dari perubahan iklim, tidak hanya menimbulkan kerusakan dan kerugian terhadap fungsi tanah serta terganggunya aktifitas manusia, tetapi juga telah merusakkan infrastruktur yang sangat penting bagi kelancaran roda ekonomi dan aktifitas sosial mereka. Apabila suhu global terus bergerak naik sebesar 0,2⁰C per dekade, maka sebelum akhir abad ini daerah-daerah pesisir akan tenggelam oleh naiknya rata-rata permukaan air laut akibat mencairnya es dan salju abadi di Greenland dan Antartika Barat. Saat ini laju kecepatan pencairan es di Greenland adalah sebesar 248 kilometer kubik per tahun yang berarti menaikkan permukaan laut sebesar 0,5 mm per tahun. Laju kecepatan pencairan tersebut ternyata lebih meningkat 250% bila dibandingkan dengan hasil pengamatan pada periode April 2002 - April 2004. Jika seluruh lapisan es di Greenland mencair, permukaan air laut akan naik setinggi 7 m. Di antara negara-negara kepulauan di dunia, tampaknya kerugian terbesar bakal dihadapi Indonesia karena memiliki jumlah pulau terbanyak. Indroyono, Sekretaris Menko Kesra yang juga mantan Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan DKP, mengatakan bahwa pada tahun 2030 Indonesia akan kehilangan sekitar 2000 pulau bila tidak ada program mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Prof. Emil Salim, dalam Kompas Jum'at 1 Mei 2009, bahkan meramalkan sekitar 3000 pulau yang akan tenggelam.
Dampak kenaikan permukaan laut di Indonesia terlihat dengan meningkatnya intensitas dan frekuensi banjir di kota-kota pesisir seperti Semarang, Surabaya, dan Jakarta. Menurut Sartohadi, Ketua Jurusan Geografi UGM, salah satu hasil penelitian di Semarang menunjukkan bahwa saat ini rob di pesisir Laut Jawa telah semakin jauh memasuki daratan atau maju beberapa kilometer dari garis pantai. Dalam lima tahun terakhir di Jawa Timur terdapat lima pulau kecil yang terancam tenggelam akibat naiknya permukaan laut. Sejumlah pulau di Kabupaten Sumenep, Madura, terancam tenggelam. Pulau-pulau itu adalah P. Gili Pandan, P. Keramat, P. Salarangan, dan P. Mamburit. Pulau Gresik Putih bahkan telah hilang sejak 2005.
Selain menimbulkan kerusakan lingkungan, kelangkaan air bersih, penyebaran penyakit, kelaparan serta kemiskinan, banjir dan kerusakan infrastruktur transportasi menimbulkan keterisolasian suatu daerah dari daerah lainnya. Keterisolasian ini akan menggangu roda perekonomian antar daerah, dan menjadi semakin parah ketika kebutuhan akan bahan makanan dan energi daerah tersebut sangat tergantung pada daerah lain.
Masalah keterisolasian suatu daerah hanya dapat diatasi dengan membangun daerah tersebut menjadi daerah yang swasembada pangan dan hewan ternak. Kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) dan gas (BBG) akibat banjir yang menggenangi jalan maupun gelombang pasang laut yang menunda pengiriman lewat laut dapat diatasi dengan pipanisasi suplai BBM dan BBG ke daerah tersebut. Bagi provinsi yang sangat luas, seperti Provinsi Papua, pipanisasi harus menjangkau seluruh kabupaten.
No comments:
Post a Comment